Sijago Merah Menjadi Kenangan Pahitku

 

Photo By: Freepik

Hari Minggu yang seharusnya menjadi hari santai melepas lelah malah menjadi salah satu hari terburuk dalam hidupku. Pukul 8 pagi, papa membangunkan aku dan kakakku dengan teriakan bahwa ada kebakaran. Kami sontak terbangun kaget. Aku segera keluar kamar dan mendapati rumah sudah gelap. Saat keluar rumah, aku melihat warga sudah ramai menyiram sumber api. Awalnya, aku mengira api berasal dari rumahku, tapi ternyata dari tiga rumah tetangga.

Dengan cepat, aku mencari kucing-kucingku dan membawanya keluar. Aku juga sempat menyelamatkan beberapa benda dan surat-surat berharga. Tak lama kemudian, api semakin membesar dan mulai meruntuhkan beberapa rumah. Aku membawa barang-barangku jauh dari rumah, menatap api yang terus membesar, seolah ingin menghanguskan rumahku. Dengan menahan tangis, aku berdoa agar pemadam kebakaran segera tiba dan memadamkan api sebelum semakin besar dan meluas.

Aku menelepon temanku yang tidak ada di rumah sambil menangis, memberitahukan bahwa rumahnya terbakar. Ia segera pulang untuk melihat keadaannya. Mamaku, yang biasanya ada di rumah, kebetulan sedang pergi. Saat mendengar kabar, ia langsung khawatir dan buru-buru pulang.

Tak lama, suara sirene terdengar menandakan pemadam kebakaran telah tiba. Aku benar-benar berdoa agar rumahku tidak terbakar. Saat mereka menyiram api, ternyata sebagian kecil rumahku, terutama atapnya, sedikit terkena api. Namun, aku bersyukur rumahku tidak hangus terbakar. Sayangnya, enam rumah tetangga di sebelahku hangus terbakar habis tanpa tersisa sedikit pun.

Setelah api berhasil dipadamkan, suasana berubah menjadi sunyi dan dipenuhi kesedihan. Warga yang rumahnya terbakar hanya bisa duduk termenung, memandang sisa-sisa puing yang dulunya adalah rumah mereka. Beberapa di antara mereka menangis, sementara yang lain masih tampak syok. Petugas pemadam kebakaran memastikan tidak ada titik api yang tersisa, dan aku merasa lega bahwa setidaknya tidak ada korban jiwa dalam kejadian tersebut.

Meski begitu, aku tetap merasa trauma melihat kejadian tersebut. Setiap kali aku memikirkan kejadian itu, hatiku terasa sesak, terutama ketika aku mengingat bagaimana aku hampir kehilangan segalanya. Perasaan takut, panik, dan sedih masih membekas. Hari itu bukan hanya hari yang buruk, tetapi juga hari yang akan selalu aku kenang sebagai salah satu momen paling menakutkan dalam hidupku.

Setelah kebakaran ini, malamnya aku mengungsi di rumah saudaraku. Ketika malam hari pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya terus menghantui. Bagaimana nasib para tetangga yang rumahnya hangus? Bagaimana jika api tadi benar-benar membakar seluruh rumah kami? Malam itu, langit yang biasanya menenangkan terasa begitu menakutkan, seolah-olah kejadian tadi pagi masih meninggalkan bayang-bayang yang berat di hatiku. Aku hanya bisa terus berdoa dan bersyukur karena tidak ada korban jiwa.

Keesokan harinya, aku datang ke lingkungan rumahku. Suasana di lingkungan kami begitu muram. Para tetangga yang kehilangan rumahnya mulai mengumpulkan barang-barang yang mungkin masih bisa diselamatkan dari puing-puing. Aku merasa tidak tega melihat wajah-wajah mereka yang penuh kesedihan dan kelelahan. Beberapa relawan dan tetangga lain ikut membantu, memberikan makanan dan air kepada mereka yang terdampak. Kami semua berusaha memberikan dukungan, tetapi rasa kehilangan itu begitu nyata dan menyakitkan. Aku menyadari bahwa meskipun rumahku selamat, perasaan kehilangan dan trauma ini akan terus membayangi kehidupan kami untuk waktu yang lama.

Gemma Ramadhina Zaneta

Halo, The Gazzies! Saya Gemma Ramadhina Zaneta, sangat senang menyambut Anda di blog saya ini. Dengan latar belakang sebagai mahasiswa di Politeknik Negeri Jakarta, Prodi Penerbitan (Jurnalistik) saya berharap blog ini bisa menjadi tempat yang bermanfaat dan menyenangkan bagi semua pembaca. Saya berharap anda menikmati setiap konten yang saya sajikan. Jangan ragu untuk meninggalkan komentar atau saran, saya sangat menghargai umpan balik dari Anda!

Posting Komentar (0)
Lebih baru Lebih lama