Hari Minggu yang
seharusnya menjadi hari santai melepas lelah malah menjadi salah satu hari
terburuk dalam hidupku. Pukul 8 pagi, papa membangunkan aku dan kakakku dengan
teriakan bahwa ada kebakaran. Kami sontak terbangun kaget. Aku segera keluar
kamar dan mendapati rumah sudah gelap. Saat keluar rumah, aku melihat warga sudah ramai
menyiram sumber api. Awalnya, aku mengira api berasal dari rumahku, tapi
ternyata dari tiga rumah tetangga.
Dengan cepat, aku
mencari kucing-kucingku dan membawanya keluar. Aku juga sempat menyelamatkan beberapa benda dan
surat-surat berharga. Tak lama kemudian, api semakin membesar dan mulai
meruntuhkan beberapa rumah. Aku membawa barang-barangku jauh dari rumah,
menatap api yang terus membesar, seolah ingin menghanguskan rumahku. Dengan
menahan tangis, aku berdoa agar pemadam kebakaran segera tiba dan memadamkan
api sebelum semakin besar dan meluas.
Aku menelepon temanku
yang tidak ada di rumah sambil menangis, memberitahukan bahwa rumahnya
terbakar. Ia segera pulang untuk melihat keadaannya. Mamaku, yang biasanya ada
di rumah, kebetulan sedang pergi. Saat mendengar kabar, ia langsung khawatir
dan buru-buru pulang.
Tak lama, suara
sirene terdengar menandakan pemadam kebakaran telah tiba. Aku benar-benar
berdoa agar rumahku tidak terbakar. Saat mereka menyiram api, ternyata sebagian
kecil rumahku, terutama atapnya, sedikit terkena api. Namun, aku bersyukur
rumahku tidak hangus terbakar. Sayangnya, enam rumah tetangga di sebelahku
hangus terbakar habis tanpa tersisa sedikit pun.
Setelah api berhasil
dipadamkan, suasana berubah menjadi sunyi dan dipenuhi kesedihan. Warga yang
rumahnya terbakar hanya bisa duduk termenung, memandang sisa-sisa puing yang
dulunya adalah rumah mereka. Beberapa di antara mereka menangis, sementara yang
lain masih tampak syok. Petugas pemadam kebakaran memastikan tidak ada titik
api yang tersisa, dan aku merasa lega bahwa setidaknya tidak ada korban jiwa
dalam kejadian tersebut.
Meski begitu, aku
tetap merasa trauma melihat kejadian tersebut. Setiap kali aku memikirkan
kejadian itu, hatiku terasa sesak, terutama ketika aku mengingat bagaimana aku
hampir kehilangan segalanya. Perasaan takut, panik, dan sedih masih membekas.
Hari itu bukan hanya hari yang buruk, tetapi juga hari yang akan selalu aku
kenang sebagai salah satu momen paling menakutkan dalam hidupku.
Setelah kebakaran
ini, malamnya aku mengungsi di rumah saudaraku. Ketika malam hari
pikiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya terus menghantui. Bagaimana
nasib para tetangga yang rumahnya hangus? Bagaimana jika api tadi benar-benar
membakar seluruh rumah kami? Malam itu, langit yang biasanya menenangkan terasa
begitu menakutkan, seolah-olah kejadian tadi pagi masih meninggalkan
bayang-bayang yang berat di hatiku. Aku hanya bisa terus berdoa dan bersyukur
karena tidak ada korban jiwa.
Keesokan harinya, aku datang ke lingkungan rumahku. Suasana
di lingkungan kami begitu muram. Para tetangga yang kehilangan rumahnya mulai
mengumpulkan barang-barang yang mungkin masih bisa diselamatkan dari
puing-puing. Aku merasa tidak tega melihat wajah-wajah mereka yang penuh
kesedihan dan kelelahan. Beberapa relawan dan tetangga lain ikut membantu,
memberikan makanan dan air kepada mereka yang terdampak. Kami semua berusaha
memberikan dukungan, tetapi rasa kehilangan itu begitu nyata dan menyakitkan.
Aku menyadari bahwa meskipun rumahku selamat, perasaan kehilangan dan trauma
ini akan terus membayangi kehidupan kami untuk waktu yang lama.